Masriadi Sambo

 

PRIA berkacamta minus itu penggemar kopi berat. Sehari beberapa gelas kopi ditegak hingga tandas. Itulah Masriadi Sambo. Ayah dari dua putra ini lahir di Kutacane Lama, Aceh Tenggara, 31 tahun silam. Namun, dia dibesarkan di kawasan pinggiran hutan, Desa Serdang, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara. Jauh dari pusat kota.

Selama ini, alumnus Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh (Unimal) itu dikenal sebagai jurnalis dan penulis. Dua profesi itu dilakoni pada waktu bersamaan. Sekali waktu, dia mengajar di jurusan tempat dia meraih ilmu.

Sampai saat ini, dia menulis puluhan cerita pendek (Cerpen) yang dimuat di media lokal dan nasional. Terkadang juga menulis artikel. “Sejak 2005 saya baru mulai nulis. Ini lambat sebenarnya. Orang lain ada yang belajar nulis itu sejak kecil kan,” sebut pria yang akrab disapa Dimas ini.

Sebagian tulisannya juga tersebar dalam buku keroyokan (antologi) bersama penulis lainnya. “Mungkin satu waktu punya sendiri,” katanya merendah.

Padahal, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe itu telah menulis dua novel dua tahun terakhir. Keduanya bergenre populer, tahun 2014 lalu novelnya terbit Cinta Kala Perang oleh Penerbit ElexMedia Jakarta. Setahun kemudian, novel keduanya Cinta Yang Hilang diterbitkan Penerbit Kaki Langit Jakarta.

Bisa disebut, penulis yang satu ini sebagai penulis dari pinggiran hutan. “Saya kan orang kampung, pinggir hutan habis. Setelah desa saya, tak ada desa lagi, langsung hutan hahaha,” katanya.

Berbicara dengan Dimas, Anda jangan pernah serius. Pria ini membuat hal-hal serius jadi ringan dan bahan bercandaan. Baginya, semua bisa disederhakan. Terpenting, ada solusi mengatasi masalah.

Lalu, kapan buku terbaru terbit? “Wah belum tahu. Beberapa naskah sudah siap. Naskah itu ibarat manusia, dia kan menemukan jodohnya. Tinggal lagi, ada yang cepat dan ada yang lambat. Jodohnya ya penerbit,” teran Ketua Ikatan Alumni Ilmu Komunikas, Universitas Malikussaleh itu.

Setiap tahun, sambung Masriadi, dia menulis dua naskah. Bisa dalam bentuk sastra, atau buku ilmiah populer. “Satu tahun bisa terbit satu saja, itu sudah luar biasa ya bagi saya yang anak kampung,” katanya.

Untuk menyebarkan virus gemar menulis, Masriadi Sambo dan kawan-kawannya mendirikan sekolah menulis yang diberinama Basri Daham Journalism Institute. Sekolah itu mengajarkan menulis artikel, sastra dan berita. “Semua itu gratis. Pengajarnya para relawan dari jurnalis senior dan penulis lainnya di Aceh,” ungkap alumnus Komunikasi Penyiaran Islam, STAIN Malikussaleh ini.

Sejauh ini, sekolah itu telah meluluskan tiga angkatan. Dia menyebutkan, mengusung nama Basri Daham sebagai bentuk penghargaan atas jasa almarhum wartawan Kompas itu yang mendirikan AJI pertama kali di Aceh.

“Dua tahun terakhir ini kami masuk ke kampus juga. AJI itu punya program masuk kampus. Kita ingin, ke depan lulusan kampus itu tak hanya jago teori, namun jago nulis juga. Banyak orang cerdas berbicara, namun kerepotan saat menulis,”kata wartawan Kompas.com ini.”

Nah, untuk itu, sambung Masriadi, dia bersama sejumlah teman ingin berbagi pengetahuan menulis. Tujuannya, agar generasi muda ke depan bisa mengabadikan seluruh peristiwa dalam bentuk tulisan. Sehingga, pada waktu tertentu, peristiwa itu akan menjadi senjarah yang patut diketahui masyarakat pada masa mendatang.

“Saya ini ndak hebat nulis. Saya hanya berbagi apa yang saya tahu pada orang lain. Masih banyak senior-senior saya yang nulisnya luar biasa hebat,” katanya.

Untuk menikmati semua tulisannya, sambung Dimas, bisa diakses pada blog pribdinya di laman www.masriadisambo.com. “Semoga apa yang saya lakukan bermanfaat,” tandasnya. | AHMAD AL BASTIN

Read Previous

Kamaruddin Hasan

Read Next

Kuliah Umum dan Talkshow Perkembangan Komunikasi bersama ASPIKOM Aceh

Leave a Reply